Pages


Kamis, 20 Juni 2013

PENERAPAN PETANI PENYAKAP DI JAWA BARAT, JAWA TIMUR DAN BALI


EKONOMI PRODUKSI
PENERAPAN PETANI PENYAKAP DI JAWA BARAT, JAWA TIMUR DAN BALI






Oleh :
Susi Susanti :             115040100111024




PROGAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013



Petani penyakap adalah petani yang mengusahakan lahan milik orang lain dan bagi hasil sesuai dengan kesepakatan dimana petani penyakap yang bertindak sebagai manajer. Resiko usaha tani ditanggung bersama dengan pemilik tanah dan penyakap dalam sistem bagi hasil. Besar bagi hasil tidak sama untuk setiap daerah. Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerahnya masing-masing.
 Bagi hasil adalah salah satu bentuk penyakapan di mana sewa lahan atau biaya pemakaian lahan diwujudkan dalam persentase output fisik total yang diperoleh selama musim tanam tertentu. Karena proporsi bagi hasil umumnya tetap, maka gambaran penting yang dapat kita peroleh dari kondisi ini adalah bahwa besarnya nilai absolut pemakaian lahan bervariasi sesuai dengan hasil panen yang diperoleh per musim tanam.
Usahatani sistem sakap dapat lebih memberikan kepuasan daripada mengusahakan lahan usahatani dengan menggunakan tenagakerja upahan. Setidaknya petani penyakap bekerja dengan motivasi yang lebih baik dibandingkan buruh tani yang diupah. Selain itu, fluktuasi penggunaan tenaga kerja pada sektor pertanian menyebabkan sistem bagi hasil lebih menjamin ketersediaan tenaga kerja dibandingkan teanga kerja upahan yang pada musim sibuk sulit diperoleh. Selanjutnya, sistem bagihasil juga lebih efisien dalam penggunaan input terutama apabila biaya produksi menjadi tanggungan bersama antara pemilik dan penyakap

  • A.      Penerapan Petani Penyakap atau Bagi Hasil di Jawa Barat

Di beberapa kabupaten di Jawa Barat, petani tanpa lahan yang berstatus sebagai petani penggarap jumlahnya mencapai 30-60%, bahkan mereka yang berstatus sebagai buruh tani atau kuli kendo di beberapa desa mencapai 75%. Ini suatu porsi jumlah yang sangat banyak, apalagi pada kondisi kepemilikan lahan sawah petani (bagi petani yang memiliki lahan) kurang dari 0,5 hektar. Petani pemilik lahan secara faktual tentu tidak dapat menyerap tenaga kerja ”tuna lahan” yang jumlahnya melebihi petani pemilik lahan, sehingga terdapat ”pasokan tenaga” yang berlebihan atau labour over supply di perdesaan.
Di salah satu kabupaten di Jawa Barat, seorang petani pemilik lahan sawah 0,7 hektar membagi-hasilkan kepada lebih dari seorang petani penggarap, dan seorang petani penggarap mendapat jatah garapan antara 100-350 bata (1 ha = 700 bata) atau 15-50 are. Secara umum ketentuan bagi hasil adalah biaya sarana dan upah usaha tani padi ditanggung oleh petani penggarap dan pada saat panen petani penggarap memperoleh bagian 40% dari hasil bersih, setelah dipotong bawon. Ketentuan ini dapat sedikit berbeda antar wilayah dan antar pemilik lahan. Dengan bagian hasil yang hanya 40%, maka pendapatan petani penggarap setelah dikurangi biaya produksi jelas sangat kecil. Untuk garapan seluas 50 are, pendapatan petani penggarap setelah dikurangi biaya produksi hanya Rp. 990.000,- dari satu musim panen padi (empat bulan), sedangkan pemilik lahan yang tidak mengeluarkan modal justru memperoleh pendapatan Rp.4.485.000,-
Setelah dipotong biaya produksi, petani penggarap rata-rata hanya menerima penghasilan sebesar 22% dari penghasilan petani pemilik lahan. Dengan luas lahan garapan antara 30-40 are, maka pendapatan petani penggarap hanya berkisar antara Rp. 600.000,- hingga Rp. 800.000,- per musim panen (empat bulan), atau antara Rp. 150.000,- hingga Rp. 200.000 per bulan. Pendapatan kepala keluarga petani penggarap tersebut jelas lebih kecil bila dibandingkan dengan upah minimum regional buruh industri. Perbedaannya, petani penggarap tidak harus bekerja secara terus menerus di sawah selama empat bulan, dan bahkan mereka mendapatkan “upah” dari kegiatan kerja di lahan sawah garapannya. Banyak penelitian menyebutkan bahwa usaha tani padi hanya mengambil pangsa 30-40% dari total pendapatn keluarga tani. Apabila porsi pendapatan yang berasal dari usahatani padi tersebut merata di beberapa wilayah, berarti total pendapatan keluarga tani penggarap mencapai Rp. 600.000,- hingga Rp. 800.000,- per bulan per KK. Apabila total pendapatan petani penggarap benar dapat mencapai Rp. 800.000,- per bulan, di perdesaan ini termasuk cukup besar. Masalahnya adalah mungkinkah selalu tersedia pekerjaan luar pertanian (of farm) di desa atau di kota yang terjangkau oleh petani, yang mampu menyediakan penghasilan hingga dua kali lipat pendapatan petani dari usahatani padi.
Dari gambaran pola pendapatan petani penggarap tersebut, terlihat bahwa produktivitas padi yang meningkat belum dapat menyejahterakan petani kecil (yang kepemilikan lahannya kurang dari 0,7 ha dan apalagi petani penggarap.

              

                     


















  • B.      Penerapan Petani Penyakap atau Bagi Hasil di Bali


Bagi hasil juga merupakan bentuk atau sistem penguasaan tanah pertanian yang lazim dan sejak lama berlaku di Bali.Sepanjang diketahui, laporan tentang bagi hasil di Bali pada zaman penjajahan ditulis oleh Liefrinck pada 1890 (Scheltema, 1984). Kemudian, setelah kemerdekaan Raka (1955) melaporkan bahwa, pada saat itu lahan yang dikerjakan dengan bagi hasil mencapai 29% dari 96.423 hektar lahan sawah. Selanjutnya, berdasarkan sensus pertanian (BPS, 1963; BPS, 1993) dapat ditunjukkan bahwa, walaupun petani yang menerima lahan dari orang lain secara proporsional cenderung menurun, tetapi secara absolut meningkat. RT petani yang menerima lahan dari orang lain berjumlah 115.265 pada 1963 meningkat menjadi 116.639 pada 1993.
Pariwisata sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi di Bali telah berhasil mendorong tumbuhnya beragam lapangan usaha dan kesempatan kerja yang pada gilirannya menyebabkan peningkatan pendapatan masyarakat (Pitana dan Sudarma, 1992). Selain itu, telah terjadi perubahan struktural dalam kesempatan kerja (Bendesa, 1997). Peningkatan kesempatan kerja luar pertanian akan berpengaruh positif bagi petani. Seperti yang dinyatakan oleh Sajogjo (1976), semakin kecil lahan garapan petani semakin besar persentase pendapatan keluarga yang berasal dari sumber-sumber dari luar pertanian. Dengan terjadinya perubahan seperti itu, diduga petani di daerah pariwisata lebih memilih kontrak sewa-tunai dibandingkan dengan bagi hasil.
Contoh penerapan petani penyakap di Bali ini adalah usahatani padi  di Daerah subak dimana daerah ini  dikelompokkan menjadi dua yaitu daerah pariwisata dan bukan pariwisata..Pada Tabel  dapat dilihat bahwa, penyakapan merupakan gejala umum di kedua daerah penelitian. Walaupun perekonomian telah semakin maju dan berkembang di daerah pariwisata, hubungan penggarapan tanah dalam bentuk sewa yang lebih “moderen” belum dapat menggantikan bentuk hubungan penggarapan “tradisional”. Jumlah petani penyakap lebih dari separo (51,35%) di daerah pariwisata dan hampir separo (43,97%) di daerah bukan pariwisata.
Proporsi penyakap dengan kekerabatan di daerah pariwisata jauh lebih sedikit dibandingkan di daerah bukan pariwisata. Penyakap dengan kekerabatan di daerah pariwisata hanya sebesar 5,83% sedangkan di daerah bukan pariwisata mencapai 13,53%. Mengacu pada pendapat Scheltema (1985) bahwa bagi hasil sebagai sejenis lembaga “pemeliharaan” sanak keluarga, rupanya pemilik lahan di daerah bukan pariwisata. lebih “suka” lahannya digarap kerabatnya. Gejala ini kembali memberikan tempat bagi pendapat Schwimmer (1995) bahwa, semakin maju masyarakat semakin lemah kekerabatan.










·         Sistem Penguasaan Lahan
Rata-rata luas penguasaan lahan petani di daerah pariwisata sedikit lebih sempit dari pada petani di daerah bukan pariwisata. Lahan yang dikuasai petani di daerah pariwisata seluas 0,55 sedangkan di daerah bukan pariwisata seluas 0,66 ha. Jenis lahan yang dikuasai petani di daerah pariwisata sebagian besar berupa lahan sawah yaitu seluas 0,39 ha (71,50%) dan pekarangan seluas 0,16 ha (28,30%). Sedangkan jenis lahan yang dikuasai petani di daerah bukan pariwisata bukan hanya sawah dan pekarangan yang masing-masing luasnya 0,43 ha (65,75%) dan 0,13 ha (20,18%) tetapi juga kebun/tegalan yang luasnya 0,08 ha (12,17%).
Menarik untuk mengamati “sumber” lahan sawah yang dikuasai petani pada kedua golongan daerah penelitian.Sebanyak 2/3 bagian lahan sawah yang dikuasai petani di daerah pariwisata adalah milik orang lain, sedangkan di daerah bukan pariwisata mencapai 3/4 bagian. Rupanya, petani di daerah pariwisata kurang berminat untuk memperluas sawah garapannya dengan cara mengerjakan lahan orang lain dibandingkan petani di daerah bukan pariwisata.
Sementara itu, petani pemilik-penggarap kelihatannya menggarap lahan sawah lebih sempit dibandingkan dua golongan petani lainnya. Petani pemilikpenggarap, penyakap dengan kekerabatan, dan penyakap tanpa kekerabatan berturut-turut adalah 0,36 ha, 0,48 ha, dan 0,40 ha. Ini dapat dipahami, karena sebagian hasil padi yang diperoleh penyakap dengan cara bagi-hasil “diambil” oleh pemilik lahan. Dengan demikian, petani penyakap berusaha meningkatkan luas lahan garapannya sehingga bisa memperoleh hasil padi yang “lebih banyak” untuk mencukupi kebutuhan pangan keluarga mereka.

·         Sistem Bagi Hasil

Menurut Raka (1955), kuosien bagi hasil yaitu perbandingan hasil yang diterima pemilik dan penggarap yang secara “tradisional” berlaku di Bali sampai saat tulisannya diterbitkan adalah: ½ - ½ (nandu), 3/5 –2/5 (nelon), 2/3 – 1/3 (ngapit), ¾ - ¼ (merapat), dan 4/5 – 1/5 (tanpa istilah). Saat ini, kuosien bagi hasil yang disebut terakhir sudah tidak tampak di kedua daerah penelitian, tetapi sebaliknya muncul kuosien bagi hasil yang “baru” yaitu 1/3 –2/3 yang berlaku di daerah pariwisata dimana 1/3 bagian untuk pemilik dan 2/3 bagian untuk penyakap.
Kuosien bagi hasil pada sistem penyakapan lahan sawah di daerah pariwisata lebih baik dibandingkan di daerah bukan pariwisata. Seperti yang terlihat pada Tabel 4, sebagian besar (63,64%) penyakap padi sawah di daerah pariwisata menerima bagian hasil 2/3, sedangkan sebagian besar (38,33%) penyakap di daerah bukan pariwisata menerima bagian hasil 2/5. Kuosien bagi hasil yang paling buruk bagi penyakap yaitu sistem “mucuin” atau merapat, dimana penyakap hanya menerima ¼ bagian hasil sudah tidak tampak di daerah pariwisata, sedangkan di daerah bukan pariwisata masih menimpa 23,33% petani penyakap.
Jika bagian hasil yang diterima penyakap digunakan sebagai tolok ukur, tampaknya, kemajuan perekonomian di daerah pariwisata telah dapat mengangkat posisi petani penyakap. Semakin tua umur petani dan keengganan anak muda untuk bekerja sebagai petani karena pekerjaan luar pertanian yang lebih baik menyebabkan “kelangkaan” penyakap di daerah ini. Semakin langka penyakap semakin tinggi “harga” penyakap.














Pada tingkat perkembangan masyarakat di Bali sampai saat ini, baik di daerah pariwisata maupun bukan pariwisata, penggunaan input yang mudah dikontrol oleh pemilik pada usahatani yang dikelola dalam bentuk bagi hasil tanpa kekerabatan dan dengan kekerabatan, seperti tenaga kerja, mengikuti model enforceable contract (model Cheung) sehingga penggunaan input optimum. Walaupun demikian, kinerja usahatani yang tercermin dari produktivitas lahan pada usahatani padi sawah yang dikelola dalam bentuk bagi hasil tanpa kekerabatan, lebih rendah dibandingkan dengan usahatani padi sawah yang dikelola pemilik-penggarap. Preferensi petani terhadap bagi hasil semakin berkurang tetapi terhadap sewa-tunai semakin meningkat dengan semakin majunya perekonomian.

  • C.      Penerapan Petani Penyakap atau Bagi Hasil di Jawa Timur

Sistem bagi hasil yang sering berlaku di masyarakat Jawa Timur adalah system Separo atao maro.Dari hasil literature jurnal penelitian wawancara terhadap petani narasumebr di Jawa Timur yang di maksud maro adalah bagi hasil yang di dasarkan kepada keuntungan bersih yang di dapat ketika panen.Keuntungan bersih disini adalah keuntungan kotor di kurangi “metu mejek” yaitu pihak ketiga yang bertanggung jawab saat awal proses penanaman padi (pengolahan lahan,tanam bibit ,membersihkan gulma dan mencabut bibit).Biaya yang di gunakan untuk kegiatn tersebut sekitar 13,6 % dari keseluruhan  biaya operasional.Setelah aktivitas “metu majek” tersebut,tanggung jawab selanjutnya berada pada pihak pemilik lahan dan mitra kerjanya.Tanggung jawab pemilik lahan hanya sebatas pada penyediaan bibit dan pupuk,sedangkan tanggung jawab mitra kerja adalahpemupukan,pembajakan,pengobatan perawatan dan pengairan.Adapun resiko gagal panen sebagai akibat bencana alam dan serangan hama adalah tanggung jawab bersama.


DAFTAR PUSTAKA


Bagus, I G. Ngurah. 1992. Pembangunan Bali Berwawasan Budaya. Dalam Majalah Ilmiah Universitas Udayana., Terbitan Khusus No.1: 1 – 8.
Bappeda Propinsi Bali. 2001. Dampak Pariwisata terhadap Aspek Sosial-budaya Masyarakat Bali. Denpasar
Bendesa, I Komang. 1997. Strategi Pembangunan Daerah Bali dalam Era Globalisasi Suatu (Tinjauan Makro). Makalah Dibawakan pada Seminar Nasional Pembangunan Bali menyongsong Abad 21, 26-28 Februari 1997di Hotel Radison Denpasar, Diselenggarakan Oleh bappeda Tingkat I Bali.
Disunting oleh Gunawan Wiradi dan Suyono Hb. Yayasan Obor, Jakarta
Majalah Ilmiah Universitas Udayana., Terbitan Khusus No.1: 62 - 70.
Pitana, I Gde. 1992. Daya Dukung Bali terhadap Kepariwisataan dan Sosial Budaya. Dalam
Raka, I Gusti Gde. 1955. Monografi Pulau Bali. Bagian Publikasi Pusat Djawatan Pertanian Rakjat, Jakarta.
Sajogjo. 1976. Pertanian, Landasan Tolak Bagi Pembangunan bangsa Indonesia. Dalam Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia, Ditulis oleh C. Geertz, Diterjemahkan oleh S. Supomo, h. xxi - xxxi. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Scheltema, A.M.P.A. 1985 Bagi hasil di Hindia Belanda. Diterjemahkan oleh Marwan dan
Sumarno.2010.  Kemelaratan Bagi Petani Kecil di Balik Kenaikan Produktivitas Padi. Dalam Majalah Sinar Tani Edisi 30 Des ’09 - 5 Januari 2010; No. 3335 Tahun XL, hal. 18

0 komentar:

Posting Komentar