EKONOMI PRODUKSI
PENERAPAN PETANI
PENYAKAP DI JAWA BARAT, JAWA TIMUR DAN BALI
Oleh :
Susi Susanti : 115040100111024
PROGAM STUDI
AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2013
Petani
penyakap adalah petani yang mengusahakan lahan milik orang lain dan bagi hasil
sesuai dengan kesepakatan dimana petani penyakap yang bertindak sebagai
manajer. Resiko usaha tani ditanggung bersama dengan pemilik tanah dan penyakap
dalam sistem bagi hasil. Besar bagi hasil tidak sama untuk setiap daerah.
Biasanya bagi hasil ini ditentukan oleh tradisi daerahnya masing-masing.
Bagi hasil
adalah salah satu bentuk penyakapan di mana sewa lahan atau biaya pemakaian
lahan diwujudkan dalam persentase output fisik total yang diperoleh selama
musim tanam tertentu. Karena proporsi bagi hasil umumnya tetap, maka gambaran
penting yang dapat kita peroleh dari kondisi ini adalah bahwa besarnya nilai
absolut pemakaian lahan bervariasi sesuai dengan hasil panen yang diperoleh per
musim tanam.
Usahatani sistem sakap dapat lebih memberikan
kepuasan daripada mengusahakan lahan usahatani dengan menggunakan tenagakerja
upahan. Setidaknya petani penyakap bekerja dengan motivasi yang lebih baik
dibandingkan buruh tani yang diupah. Selain itu, fluktuasi penggunaan tenaga
kerja pada sektor pertanian menyebabkan sistem bagi hasil lebih menjamin
ketersediaan tenaga kerja dibandingkan teanga kerja upahan yang pada musim
sibuk sulit diperoleh. Selanjutnya, sistem bagihasil juga lebih efisien dalam
penggunaan input terutama apabila biaya produksi menjadi tanggungan bersama
antara pemilik dan penyakap
- A.
Penerapan
Petani Penyakap atau Bagi Hasil di Jawa Barat
Di beberapa kabupaten di Jawa Barat, petani tanpa
lahan yang berstatus sebagai petani penggarap jumlahnya mencapai 30-60%, bahkan
mereka yang berstatus sebagai buruh tani atau kuli kendo di beberapa desa
mencapai 75%. Ini suatu porsi jumlah yang sangat banyak, apalagi pada kondisi
kepemilikan lahan sawah petani (bagi petani yang memiliki lahan) kurang dari
0,5 hektar. Petani pemilik lahan secara faktual tentu tidak dapat menyerap
tenaga kerja ”tuna lahan” yang jumlahnya melebihi petani pemilik lahan,
sehingga terdapat ”pasokan tenaga” yang berlebihan atau labour over supply di
perdesaan.
Di salah satu kabupaten di Jawa Barat, seorang
petani pemilik lahan sawah 0,7 hektar membagi-hasilkan kepada lebih dari
seorang petani penggarap, dan seorang petani penggarap mendapat jatah garapan
antara 100-350 bata (1 ha = 700 bata) atau 15-50 are. Secara umum ketentuan
bagi hasil adalah biaya sarana dan upah usaha tani padi ditanggung oleh petani
penggarap dan pada saat panen petani penggarap memperoleh bagian 40% dari hasil
bersih, setelah dipotong bawon. Ketentuan ini dapat sedikit berbeda antar
wilayah dan antar pemilik lahan. Dengan bagian hasil yang hanya 40%, maka
pendapatan petani penggarap setelah dikurangi biaya produksi jelas sangat
kecil. Untuk garapan seluas 50 are, pendapatan petani penggarap setelah
dikurangi biaya produksi hanya Rp. 990.000,- dari satu musim panen padi (empat
bulan), sedangkan pemilik lahan yang tidak mengeluarkan modal justru memperoleh
pendapatan Rp.4.485.000,-
Setelah dipotong biaya produksi, petani penggarap
rata-rata hanya menerima penghasilan sebesar 22% dari penghasilan petani
pemilik lahan. Dengan luas lahan garapan antara 30-40 are, maka pendapatan
petani penggarap hanya berkisar antara Rp. 600.000,- hingga Rp. 800.000,- per
musim panen (empat bulan), atau antara Rp. 150.000,- hingga Rp. 200.000 per
bulan. Pendapatan kepala keluarga petani penggarap tersebut jelas lebih kecil
bila dibandingkan dengan upah minimum regional buruh industri. Perbedaannya,
petani penggarap tidak harus bekerja secara terus menerus di sawah selama empat
bulan, dan bahkan mereka mendapatkan “upah” dari kegiatan kerja di lahan sawah
garapannya. Banyak penelitian menyebutkan bahwa usaha tani padi hanya mengambil
pangsa 30-40% dari total pendapatn keluarga tani. Apabila porsi pendapatan yang
berasal dari usahatani padi tersebut merata di beberapa wilayah, berarti total
pendapatan keluarga tani penggarap mencapai Rp. 600.000,- hingga Rp. 800.000,-
per bulan per KK. Apabila total pendapatan petani penggarap benar dapat
mencapai Rp. 800.000,- per bulan, di perdesaan ini termasuk cukup besar.
Masalahnya adalah mungkinkah selalu tersedia pekerjaan luar pertanian (of farm)
di desa atau di kota yang terjangkau oleh petani, yang mampu menyediakan
penghasilan hingga dua kali lipat pendapatan petani dari usahatani padi.
Dari gambaran pola pendapatan petani penggarap
tersebut, terlihat bahwa produktivitas padi yang meningkat belum dapat
menyejahterakan petani kecil (yang kepemilikan lahannya kurang dari 0,7 ha dan
apalagi petani penggarap.
- B.
Penerapan
Petani Penyakap atau Bagi Hasil di Bali
Bagi
hasil juga merupakan bentuk atau sistem penguasaan tanah pertanian yang lazim
dan sejak lama berlaku di Bali.Sepanjang diketahui, laporan tentang bagi hasil
di Bali pada zaman penjajahan ditulis oleh Liefrinck pada 1890 (Scheltema,
1984). Kemudian, setelah kemerdekaan Raka (1955) melaporkan bahwa, pada saat
itu lahan yang dikerjakan dengan bagi hasil mencapai 29% dari 96.423 hektar
lahan sawah. Selanjutnya, berdasarkan sensus pertanian (BPS, 1963; BPS, 1993)
dapat ditunjukkan bahwa, walaupun petani yang menerima lahan dari orang lain
secara proporsional cenderung menurun, tetapi secara absolut meningkat. RT
petani yang menerima lahan dari orang lain berjumlah 115.265 pada 1963
meningkat menjadi 116.639 pada 1993.
Pariwisata
sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi di Bali telah berhasil mendorong
tumbuhnya beragam lapangan usaha dan kesempatan kerja yang pada gilirannya
menyebabkan peningkatan pendapatan masyarakat (Pitana dan Sudarma, 1992).
Selain itu, telah terjadi perubahan struktural dalam kesempatan kerja (Bendesa,
1997). Peningkatan kesempatan kerja luar pertanian akan berpengaruh positif
bagi petani. Seperti yang dinyatakan oleh Sajogjo (1976), semakin kecil lahan garapan
petani semakin besar persentase pendapatan keluarga yang berasal dari
sumber-sumber dari luar pertanian. Dengan terjadinya perubahan seperti itu,
diduga petani di daerah pariwisata lebih memilih kontrak sewa-tunai
dibandingkan dengan bagi hasil.
Contoh
penerapan petani penyakap di Bali ini adalah usahatani padi di Daerah subak dimana daerah ini dikelompokkan menjadi dua yaitu daerah
pariwisata dan bukan pariwisata..Pada Tabel dapat dilihat bahwa, penyakapan merupakan
gejala umum di kedua daerah penelitian. Walaupun perekonomian telah semakin
maju dan berkembang di daerah pariwisata, hubungan penggarapan tanah dalam
bentuk sewa yang lebih “moderen” belum dapat menggantikan bentuk hubungan
penggarapan “tradisional”. Jumlah petani penyakap lebih dari separo (51,35%) di
daerah pariwisata dan hampir separo (43,97%) di daerah bukan pariwisata.
Proporsi
penyakap dengan kekerabatan di daerah pariwisata jauh lebih sedikit
dibandingkan di daerah bukan pariwisata. Penyakap dengan kekerabatan di daerah
pariwisata hanya sebesar 5,83% sedangkan di daerah bukan pariwisata mencapai
13,53%. Mengacu pada pendapat Scheltema (1985) bahwa bagi hasil sebagai sejenis
lembaga “pemeliharaan” sanak keluarga, rupanya pemilik lahan di daerah bukan
pariwisata. lebih “suka” lahannya digarap kerabatnya. Gejala ini kembali memberikan
tempat bagi pendapat Schwimmer (1995) bahwa, semakin maju masyarakat semakin
lemah kekerabatan.
·
Sistem
Penguasaan Lahan
Rata-rata
luas penguasaan lahan petani di daerah pariwisata sedikit lebih sempit dari
pada petani di daerah bukan pariwisata. Lahan yang dikuasai petani di daerah
pariwisata seluas 0,55 sedangkan di daerah bukan pariwisata seluas 0,66 ha.
Jenis lahan yang dikuasai petani di daerah pariwisata sebagian besar berupa
lahan sawah yaitu seluas 0,39 ha (71,50%) dan pekarangan seluas 0,16 ha
(28,30%). Sedangkan jenis lahan yang dikuasai petani di daerah bukan pariwisata
bukan hanya sawah dan pekarangan yang masing-masing luasnya 0,43 ha (65,75%)
dan 0,13 ha (20,18%) tetapi juga kebun/tegalan yang luasnya 0,08 ha (12,17%).
Menarik
untuk mengamati “sumber” lahan sawah yang dikuasai petani pada kedua golongan
daerah penelitian.Sebanyak 2/3 bagian lahan sawah yang dikuasai petani di
daerah pariwisata adalah milik orang lain, sedangkan di daerah bukan pariwisata
mencapai 3/4 bagian. Rupanya, petani di daerah pariwisata kurang berminat untuk
memperluas sawah garapannya dengan cara mengerjakan lahan orang lain
dibandingkan petani di daerah bukan pariwisata.
Sementara
itu, petani pemilik-penggarap kelihatannya menggarap lahan sawah lebih sempit
dibandingkan dua golongan petani lainnya. Petani pemilikpenggarap, penyakap
dengan kekerabatan, dan penyakap tanpa kekerabatan berturut-turut adalah 0,36
ha, 0,48 ha, dan 0,40 ha. Ini dapat dipahami, karena sebagian hasil padi yang
diperoleh penyakap dengan cara bagi-hasil “diambil” oleh pemilik lahan. Dengan demikian,
petani penyakap berusaha meningkatkan luas lahan garapannya sehingga bisa
memperoleh hasil padi yang “lebih banyak” untuk mencukupi kebutuhan pangan
keluarga mereka.
·
Sistem Bagi Hasil
Menurut
Raka (1955), kuosien bagi hasil yaitu perbandingan hasil yang diterima pemilik
dan penggarap yang secara “tradisional” berlaku di Bali sampai saat tulisannya
diterbitkan adalah: ½ - ½ (nandu), 3/5 –2/5 (nelon), 2/3 – 1/3 (ngapit),
¾ - ¼ (merapat), dan 4/5 – 1/5 (tanpa istilah). Saat ini, kuosien bagi
hasil yang disebut terakhir sudah tidak tampak di kedua daerah penelitian,
tetapi sebaliknya muncul kuosien bagi hasil yang “baru” yaitu 1/3 –2/3 yang
berlaku di daerah pariwisata dimana 1/3 bagian untuk pemilik dan 2/3 bagian
untuk penyakap.
Kuosien
bagi hasil pada sistem penyakapan lahan sawah di daerah pariwisata lebih baik
dibandingkan di daerah bukan pariwisata. Seperti yang terlihat pada Tabel 4,
sebagian besar (63,64%) penyakap padi sawah di daerah pariwisata menerima bagian
hasil 2/3, sedangkan sebagian besar (38,33%) penyakap di daerah bukan
pariwisata menerima bagian hasil 2/5. Kuosien bagi hasil yang paling buruk bagi
penyakap yaitu sistem “mucuin” atau merapat, dimana penyakap
hanya menerima ¼ bagian hasil sudah tidak tampak di daerah pariwisata,
sedangkan di daerah bukan pariwisata masih menimpa 23,33% petani penyakap.
Jika
bagian hasil yang diterima penyakap digunakan sebagai tolok ukur, tampaknya,
kemajuan perekonomian di daerah pariwisata telah dapat mengangkat posisi petani
penyakap. Semakin tua umur petani dan keengganan anak muda untuk bekerja
sebagai petani karena pekerjaan luar pertanian yang lebih baik menyebabkan
“kelangkaan” penyakap di daerah ini. Semakin langka penyakap semakin tinggi
“harga” penyakap.
Pada
tingkat perkembangan masyarakat di Bali sampai saat ini, baik di daerah
pariwisata maupun bukan pariwisata, penggunaan input yang mudah dikontrol oleh
pemilik pada usahatani yang dikelola dalam bentuk bagi hasil tanpa kekerabatan
dan dengan kekerabatan, seperti tenaga kerja, mengikuti model enforceable
contract (model Cheung) sehingga penggunaan input optimum. Walaupun
demikian, kinerja usahatani yang tercermin dari produktivitas lahan pada usahatani
padi sawah yang dikelola dalam bentuk bagi hasil tanpa kekerabatan, lebih
rendah dibandingkan dengan usahatani padi sawah yang dikelola
pemilik-penggarap. Preferensi petani terhadap bagi hasil semakin berkurang
tetapi terhadap sewa-tunai semakin meningkat dengan semakin majunya
perekonomian.
- C.
Penerapan Petani Penyakap atau Bagi
Hasil di Jawa Timur
Sistem
bagi hasil yang sering berlaku di masyarakat Jawa Timur adalah system Separo
atao maro.Dari hasil literature jurnal penelitian wawancara terhadap petani
narasumebr di Jawa Timur yang di maksud maro adalah bagi hasil yang di dasarkan
kepada keuntungan bersih yang di dapat ketika panen.Keuntungan bersih disini
adalah keuntungan kotor di kurangi “metu mejek” yaitu pihak ketiga yang
bertanggung jawab saat awal proses penanaman padi (pengolahan lahan,tanam bibit
,membersihkan gulma dan mencabut bibit).Biaya yang di gunakan untuk kegiatn
tersebut sekitar 13,6 % dari keseluruhan
biaya operasional.Setelah aktivitas “metu majek” tersebut,tanggung jawab
selanjutnya berada pada pihak pemilik lahan dan mitra kerjanya.Tanggung jawab
pemilik lahan hanya sebatas pada penyediaan bibit dan pupuk,sedangkan tanggung
jawab mitra kerja adalahpemupukan,pembajakan,pengobatan perawatan dan
pengairan.Adapun resiko gagal panen sebagai akibat bencana alam dan serangan
hama adalah tanggung jawab bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
Bagus, I G. Ngurah.
1992. Pembangunan Bali Berwawasan Budaya. Dalam Majalah Ilmiah Universitas
Udayana., Terbitan Khusus No.1: 1 – 8.
Bappeda Propinsi Bali.
2001. Dampak Pariwisata terhadap Aspek Sosial-budaya Masyarakat Bali.
Denpasar
Bendesa, I Komang. 1997. Strategi
Pembangunan Daerah Bali dalam Era Globalisasi Suatu (Tinjauan Makro).
Makalah Dibawakan pada Seminar Nasional Pembangunan Bali menyongsong Abad 21,
26-28 Februari 1997di Hotel Radison Denpasar, Diselenggarakan Oleh
bappeda Tingkat I Bali.
Disunting
oleh Gunawan Wiradi dan Suyono Hb. Yayasan Obor, Jakarta
Majalah
Ilmiah Universitas Udayana., Terbitan Khusus No.1: 62 -
70.
Pitana, I Gde. 1992. Daya Dukung Bali terhadap Kepariwisataan dan
Sosial Budaya. Dalam
Raka, I Gusti Gde. 1955. Monografi
Pulau Bali. Bagian Publikasi Pusat Djawatan Pertanian Rakjat, Jakarta.
Sajogjo. 1976. Pertanian, Landasan Tolak Bagi Pembangunan bangsa
Indonesia. Dalam Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi di
Indonesia, Ditulis oleh C. Geertz, Diterjemahkan oleh S. Supomo, h. xxi -
xxxi. Bhratara Karya Aksara, Jakarta.
Scheltema, A.M.P.A.
1985 Bagi hasil di Hindia Belanda. Diterjemahkan oleh Marwan dan
Sumarno.2010. Kemelaratan
Bagi Petani Kecil di Balik Kenaikan Produktivitas Padi. Dalam Majalah Sinar Tani Edisi 30 Des ’09 - 5 Januari 2010;
No. 3335 Tahun XL, hal. 18
0 komentar:
Posting Komentar